Selamat Datang di Windikmbonak Willy Kogoya blogspot.

Biarkan Saya Berbicara dalam wilayah (Tubuh, Jiwa dan Roh). Tiga Unsur yang ada pada manusia ini harus seimbang dan diberi makanannya masing-masing sesuai porsinya. sangat berbahaya jika salah satunya kurus karena kelaparan.


Makanan bagi Tubuh = makanan 4 sehat 5 sempurna
Makanan bagi Jiwa = Mempelajarai Ilmu Pengetahuan
Makanan Bagi Roh = Berdoa, beribadah dan bersekutu dengan Allah dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus
Memuat Berita dan Informasi IPOLEKSOSBUDHANKAM

Telusuri Data dan Informasi

SUARA BAPTIS PAPUA Headline Animator

Papua Press Agency Headline Animator

Kamis, Oktober 30, 2008

wisuda S2 UGM 29 Oktober 2008





Wisuda pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada di Gedung Griya Shadah Pramana Yogyakarta, 29 Oktober 2008.

syukur Atas Wisuda di UGM 29 Okt 08


Foto Bersama Karya Siswa Prodi Ketahanan Nasional Angkatan 2005.

Selasa, Oktober 07, 2008

Pengenalan Alkitab

Abstrakt Injil Matius

Buku Matius menyampaikan kepada kita Kabar Baik bahwa Yesus adalah Raja Penyelamat yang dijanjikan oleh Allah. Melalui Yesus itulah Allah menepati apa yang telah dijanjikan-Nya di dalam Perjanjian Lama kepada umat-Nya. Sekalipun Yesus lahir dari orang Yahudi dan hidup sebagai orang Yahudi, namun Kabar Baik itu bukanlah hanya untuk bangsa Yahudi saja melainkan untuk seluruh dunia.
Buku Matius ini disusun secara teratur; mulai dengan kelahiran Yesus, kemudian mengenai baptisan dan godaan yang dialami-Nya, lalu mengenai karya-Nya di Galilea. Di situ Ia berkhotbah, mengajar dan menyembuhkan orang. Setelah itu buku ini mengisahkan perjalanan Yesus dari Galilea ke Yerusalem, dan apa yang terjadi dengan Yesus dalam minggu terakhir hidup-Nya di dunia ini yang memuncak pada kematian dan kebangkitan-Nya.
Salah satu hal yang dititikberatkan oleh Matius ialah bahwa Yesus adalah Guru yang besar, yang mengajar bahwa Allah memerintah sebagai Raja. Yesus juga mempunyai wibawa untuk menjelaskan arti dari Hukum Allah. Kebanyakan dari ajaran-ajaran Yesus itu dikelompokkan menurut pokok-pokoknya. Ada lima kelompok: (1) Khotbah di Bukit yang menyangkut sikap, kewajiban, hak-hak, dan tujuan hidup para anggota umat Allah (pasal 5-7); (2) petunjuk-petunjuk kepada kedua belas pengikut Yesus untuk melaksanakan tugas (pasal 10); (3) perumpamaan-perumpamaan tentang keadaan waktu Allah memerintah sebagai Raja (pasal 13); (4) ajaran mengenai makna menjadi pengikut Yesus (pasal 18); dan (5) ajaran tentang akhir zaman dan tentang kedatangan Anak Manusia (pasal 24-25).

Isi

Daftar asal-usul Yesus Kristus dan kelahiran-Nya 1:1--2:23
Pekerjaan Yohanes Pembaptis 3:1-12
Baptisan dan godaan terhadap Yesus 3:13--4:11
Pelayanan Yesus di tengah-tengah masyarakat Galilea 4:12--18:35
Dari Galilea ke Yerusalem 19:1--20:34
Minggu terakhir di Yerusalem dan sekitarnya 21:1--27:66
Kebangkitan Yesus dan penampakan diri-Nya 28:1-20

Penelitian Pendidik Kimia

PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS LITERASI SAINS

DAN TEKNOLOGI PADA MATERI POKOK LAJU REAKSI

(Analisis Aspek Konten Sains Siswa kelas XI)

Oleh :

EKA YEKTI SHOLIHATIN, S.Pd

PENDIDIKAN KIMIA F.MIPA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2008

Telah dilakukan penelitian berjudul “Pembelajaran Kimia Berbasis Literasi Sains dan Teknologi pada Materi Pokok Laju Reaksi (Analisis Aspek Konten Sains Siswa kelas XI)” dengan tujuan memperoleh bentuk pembelajaran kimia berbasis literasi sains dan teknologi sekaligus memperoleh informasi mengenai penguasaan aspek konten sains siswa sebelum dan sesudah pembelajaran serta tanggapan siswa mengenai pembelajaran yang telah dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode pre-experimental design dengan bentuk one-group pretest-posttest design. Subyek penelitian adalah 30 orang siswa kelas XI. Pembelajaran diawali dengan penayangan video mengenai faktor asupan makanan sebagai salah satu penyebab terbentuknya batu ginjal, penanaman konsep dengan cara praktikum dan diskusi, pengambilan keputusan terhadap pertanyaan kuriositi, dan diakhiri dengan pengambilan intisari serta pengaplikasian konsep pada konteks lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan harga rata-rata n-gain sebesar 51,6% dengan n-gain kelompok tinggi, sedang, dan rendah berturut-turut adalah 62,2%, 48,6%, dan 52,6%. Uji statistik menunjukkan adanya peningkatan penguasaan konten sains yang signifikan setelah pembelajaran baik secara keseluruhan maupun tiap kelompok namun melalui uji anava diketahui bahwa peningkatan penguasaan konten sains diantara ketiga kelompok siswa tersebut tidak berbeda secara signifikan. Hasil belajar siswa untuk setiap jenjang kemampuan menunjukkan adanya peningkatan penguasaan konten sains yang signifikan disetiap jenjangnya baik secara keseluruhan maupun kelompok dengan harga rata-rata n-gain pada jenjang kemampuan mengingat, memahami, dan menerapkan berturut turut sebesar 39,1% (kelompok tinggi 73,3%, kelompok sedang 25,0%, dan kelompok rendah 19,0%), 57,1% (kelompok tinggi 60,0%, kelompok sedang 64,6%, dan kelompok rendah 46,7%), serta 64,4% (kelompok tinggi 69,2%, kelompok sedang 55,6%, dan kelompok rendah 68,4%). Secara keseluruhan tanggapan siswa terhadap pembelajaran adalah bahwa pembelajaran ini menarik, menambah pengalaman dan wawasan siswa. Siswa merasa lebih mudah memahami konsep yang diberikan serta mampu meningkatkan motivasi siswa untuk belajar kimia lebih lanjut.

Kata kunci: pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi, aspek konten sains, laju reaksi.

Jumat, September 26, 2008

Kata Mutiara Hari Ini

Saat bertemu teman yang dapat dipercaya, rukunlah bersamanya.
Karena seumur hidup manusia, teman sejati (sahabat) tak mudah ditemukan.

Saat bertemu penolongmu,
Ingat untuk berterima kasih padanya.
Karena ialah yang membantu mengubah hidupmu

Saat bertemu orang yang pernah kau cintai,
Tersenyumlah dengan wajar .
Karena ia lah orang yang membuatmu lebih mengerti tentang cinta

Saat bertemu orang yang pernah kau benci,
Sapalah dengan tersenyum.
Karena ia membuatmu semakin teguh / kuat.

Saat bertemu orang yang pernah mengkhianatimu, Baik-baiklah berbincanglah dengannya.
Karena jika bukan karena dia, hari ini engkau tak memahami dunia ini.

Saat bertemu orang yang tergesa-gesa meninggalkanmu,
Berterima-kasihlah bahwa ia pernah ada dalam hidupmu.
Karena ia adalah bagian dari nostalgiamu

Saat bertemu orang yang pernah salah-paham padamu,
Gunakan saat tersebut untuk menjelaskannya.
Karena engkau mungkin hanya punya satu kesempatan itu saja untuk menjelaskan

Dan Saat engkau bertemu seseorang yang saat ini menemanimu seumur hidup (suami / istri) kita,
Berterima-kasihlah sepenuhnya bahwa ia mencintaimu.
Karena saat ini kalian mendapatkan kebahagiaan dan cinta sejati yang kau cari.

Rabu, September 17, 2008

Hasil Penelitian

ABSTRACT PENELITIAN S2 KETAHANAN NASIONAL


CONFLICT THE AREAL SPLITTING AT PROVINCIAL AND REGENCY LEVELS IN PAPUA IN THE NENGGI-KENGGI PERSPECTIVE AND ITS IMPLICATIONS ON REGIONAL RESILIENCE


PRO-KONTRA PEMEKARAN PROVINSI DAN KABUPATEN DI PAPUA DALAM PERSPEKTIF NENGGI-KENGGI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KETAHANAN WILAYAH


ABSTRACT


Oleh : Willius Kogoya

Program Studi : Ketahanan Nasional

Instansi Asal : FKIP-UNIVERSITAS CENDERAWASIH

Pembimbing I : Prof. Dr. Kodiran, MA

Pembimbing II : Drs. Ahmad Zubaidi, M.Si

Tanggal Wisuda : 29 Oktober 2008


The policy of the areal splitting implemented in accordance with Law No. 45/1999, Law No. 21/2001, President Instruction No.1/2003 raised pros and cons. This study is to assess the conflict concerning the policy of the areal splitting from the Nenggi-Kenggi perspective and to find out changes for regional resilience.

Theories used are mainly those from the Nenggi-Kenggi perspective, as well as those of conflict and regional resilience. A problem of the study is why the conflict around the policy of the areal splitting has occurred and how the Nenggi-Kenggi perspective is toward the interest of involved parties and its implications on the regional resilience.

From the study with the cultural perspective of Dani/Lani, it can be found that in a sociological approach the Nenggi-Kenggi are value and concept in local communities with moral precepts. The value or moral precepts of Nenggi-Kenggi can be one of the alternatives for resolving the conflict around the policy of the areal splitting and other social conflicts.

Regardless of refutations against the policy of the areal splitting related to the struggle of separatism from the Unitary State of the Republic of Indonesia, result of the study shows that certain political elites of central government as well as the local communities have been found to be involved in the conflict around the policy of the areal splitting in Papua after the implementation of the policy based on Law No. 45/1999 and Law No. 21/2001. The conflict around the policy of the areal splitting are positioned as: (1) the internal conflicts of government involving the local communities; (2) horizontal and vertical conflicts due to social changes in implementing the policy of the areal splitting and Special Autonomy programs in Papua. In the Nenggi-Kenggi perspective, the two positions are considered as due to not pursuing the Nenggi-Kenggi moral precepts as inseparable parts of the values contained in the Five Pinciples (Pancasila) as the foundations of State and the basics of decision-making process concerning public interests despite the fact that the underlying spirit and goals of the policy’s implementation involving the internal conflict of government can in a positive point of view be considered as a policy strategy for central government in securing the stability of the Unitary State of the Republic of Indonesia.

Social changes resulted from the governmental policy and interest conflict in Papua have actually positive and negative implications on regional resilience, in turn influencing national resilience, especially in terms of preventing the threat of national disintegration.


Keywords: Conflict, the Policy of Areal Splitting, Nenggi-Kenggi, Regional Reselience


Mencari Jalan Keluar Bagi Konflik di Papua

Yoman dalam Bintang Papua tanggal 16 September 2008 "Dialog Solusi Terakhir Untuk Papua"


Memang benar Seorang Pria Melayu (NKRI) yang mengawini seorang gadis hitam manis dari Melanesia, melalui usaha dan proses yang disisi lain menganggap sah dan sisi lain dianggap tidak sah, tidak demokratis dan penuh rekayasa.

Inilah letak akar masalah saling tidak percaya dan saling curiga mencurgai kedua bela pihak. kondisi ini semakin diperparah dengan adanya campur tangan pihak luar yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi di tanah Papua (Etnis Melanesia) sehingga kesejahteraan bagi orang Papua memang belum bisa dikatakan sejahtera walaupun dalam rencana dan konsep luar biasa briliannya.

Ada oknum/kelompok yang memang suka dengan teori tanpa peduli dengan kondisi real adapula yang sangat peduli terhadap kondisi real masyarakat. Adanya dua individu yang berbeda ini wajar-wajar saja. Tetapi yang menjadi pertanyaan sampai kapan konsep yang benar itu diwujudkan dengan benar pula.

Ada juga fenomena teror BOM versi baru yang terjadi di TIMIKA entah dari pihak mana dan apa motifnya belum jelas namun, Pihak-Pihak yang berkepentingan baik orang Melanesia, Orang Melayu dan Orang Kulit Putih duduklah di Kunume (Forum Musyawarah dan Dialog) sebagaimana menjadi harapan pihak-pihak LSM, GEREJA dan Pihak Akar Rumput yang menghendaki perlu dilakukan dialog untuk mencari solusi secara LOKAL, NASIONAL DAN INTERNASIONAL.

Semoga dengan Dialog Rumah Tangga (Si Melayu dan Si Melanesia) dapat berjalan Harmonis.

Kamis, Agustus 21, 2008

Artikel Gereja dan Masyarakat

TERCERAI-BERAI IBLIS SENANG,
BERSATU UMAT BAPTIS PAPUA KUAT

Ketika berada di Getsemani pada detik-detik penangkapanNya, Yesus berkata “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku." Matius 26:38. Yesus adalah kepala gereja dan kepala Umat Baptis, sehingga memang benar bahwa hati Yesus sangat sedih melihat murid-Nya kurang menjalin kebersamaan dan persekutuan dalam doa. Setelah seluruh murid Yesus bercerai-berai meninggalkan Yesus yang ditangkap serta diadili sendiri pada waktu itu, muncul seorang tokoh yang bernama Petrus dalam Matius 26:75, mengatakan “Maka teringatlah Petrus akan apa yang dikatakan Yesus kepadanya: "Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali." Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya. Kisah seorang Petrus yang sudah melarikan diri untuk menyelamatkan dirinya sendiri, menggambarkan hamba-hamba Tuhan di kalangan gereja Baptis yang tidak sejalan dengan adanya saling curiga mencurigai, sifat mau menang sendiri, sifat meninggalkan pemimpin sendiri atau lari dari tanggung jawab, dengan maksud karena takut ditangkap, takut mendapat tanggapan yang tidak enak didengar karena maunya yang baik-baik saja padahal seorang pemimpin sejati atau pelayan sejati adalah dalam keadaan senang atau tidak senang, sebagaimana perintah Yesus kita harus menjaga domba-domba Allah. Disamping itu ada juga yang keluar dari persekutuan dengan mengikuti jejak Yudas Iskariot sang Pengkhianat yang mencari keuntungan ekonomi dengan menjual Jemaat, Menjual Organisasi, atau menggadaikan Harga Diri Orang Baptis bahkan Iman dan Moralnya sendiri, juga saling menjual keluarga sendiri. Seorang Petrus walaupun pernah memberontak dengan dirinya sendiri dan meninggalkan Yesus, namun akhirnya kembali kepada Yesus Sang Guru dan Pemimpin dan pada akhir kisah hidupnya diketahui, Petrus digantung dan rela mati demi Kristus dengan posisi kedua kaki diikat ke atas dan kepala tergantung ke bawa. Pada bagian lain dalam kisah Petrus dalam Injil Yohanes 21: 17 tertulis: Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan ia berkata kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku.

Pada bagian di atas menceritakan kesedihan hati Yesus, karena melihat ulah anak-anakNya yang tidak bersatu dalam Melayani, Bersekutu dan Bersaksi bagi Kemuliaan Yesus Kristus Tuhan kita. Kesedihan hati Yesus karena melihat kita penuh dosa, sedang dijajah oleh Iblis dalam belenggu dosa. Kedekatan hati umat Baptis kepada Tuhan Yesus sebagai pemilik gereja Baptis, perlu kita contoh dari ekspresi Petrus yang sedih hati mengingat soal “Menggembalakan Domba-Domba”. Disini Petrus merasa bahwa Yesus telah memilih dia untuk menjadi penjala manusia, dan kenapa dia sudah pernah lari dari tanggung jawab panggilan surgawi tersebut?, barangkali timbul pernyataan tulus seperti ini dalam pribadinya. Tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan sendiri kepada Petrus dan kini menjadi giliran kita sekalian adalah menggembalakan domba-domba yang tidak sebatas mendirikan gereja dan memberitakan Injil tiap minggu di mimbar-mimbar, namun perlu dibarengi dengan pelayanan pastoral, menjaga umat dari sakit penyakit, kalau ada yang bersedia urus organisasi yang lain mengambil bagian pada penginjilan dan pengajaran Alkitab, kalau ada yang urus persoalan kemanusiaan, yang lain tetap menjalankan program-program jemaat agar sebagai domba-domba Allah tetap eksis, tanpa terpengaruh dengan kepentingan Ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya serta pertahanan keamanan dalam memasuki era globalisasi yang berimplikasi positif dan negatif. Alangkah indahnya umat Baptis dapat menempatkan diri sebagai anak-anak terang dan dapat menjalankan semua perkara kecil hingga perkara besar dengan penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh kepentingan pribadi dengan mengabaikan atau membunuh manusia lain secara langsung atau tidak langsung dengan menjajah saudara sendiri adalah pekerjaan Iblis. Itulah sebabnya Rasul Paulus melalui suratnya kepada kita melalui Kitab Perjanjian Baru Efesus 6:11 mengatakan: Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis. Memelihara perbedaan pendapat dengan didasari rasa dongkol, dendam, iri hati, dengki, cemburu, ingin menang sendiri, melakukan tindakan kekerasan, fitnah, bohong, menipu adalah siasat Iblis yang membuat Iblis dan orang-orang yang mengabdi kepada Iblis senang melihat kehancuran umat Tuhan di Tanah Papua. Yang menjadi musuh dan akar masalah sudah jelas di mata kita, sehingga perlu kewaspadaan diri dalam berpikir sebelum bertindak atau mengambil keputusan. Namun hal yang perlu diingat adalah Tuhan takkan pernah sekali-kali membiarkan kita berjalan sendiri, sebagai mana Firman Tuhan dalam Yeremia 46:28 berbunyi: Maka engkau, janganlah takut, hai hamba-Ku Yakub, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku menyertai engkau: segala bangsa yang ke antaranya engkau Kuceraiberaikan akan Kuhabiskan, tetapi engkau ini tidak akan Kuhabiskan. Aku akan menghajar engkau menurut hukum, tetapi Aku sama sekali tidak memandang engkau tak bersalah."

Menanggapi kasus Newton Mokay tanggal, 5 Agustus 2008 timbul sejumlah pertanyaan dari umat Baptis di Papua dan sedunia. Tanggapan mereka jika dibuat dalam pertanyaan Bagaimana tanggapan Umat Baptis Papua dan sedunia apalagi perasaan hati Yesus Sang Kepala Gereja jika diantara kita masih saling menyalahkan, sementara kita mesti bersatu padu melawan musuh yang dari luar?. Terkait Sebab dan Akibat Pemalangan Kampus STT Baptis pada Kasus 5 Agustus 2008, diharapkan kepada Bapak Newton F. Mokay, Bapak Andolof Kogoya, bersama Mahasiswa STT Baptis sebagai intelektual Baptis janganlah bersikap keras hati dan keras kepala dengan memakai kekuatan fisik walaupun itu juga penting disatu sisi sebagai cara mempertahankan apa yang dianggap benar. Kampus STT Baptis yang konon sebagai tempat “bakar batu orang yang dipanggil Tuhan” yang diutus ke tengah-tengah jemaat dan tempat pelayanan baru, diharapkan tidak dijadikan sebagai arena “Tinju” atau “Arena Perang Saudara”. Sebagai contoh aksi yang dilakukan oleh Bapak Newton Mokay dan Andolof Kogoya, mendapat masukan baik untuk pelaku yang menjadi aktor intelektual dan kepada para intelektual Baptis seluruhnya bahwa jika Anda sebagai seorang anggota tokoh publik di MRP janganlah ikut-ikutan mengambil alih tugas dosen dan akademisi STT Baptis pada jam kerjanya dengan cara melakukan kekerasan. Atau janganlah pihak Akademisi mengganggu kerja anggota MRP pada jam kerjanya. Jadi intinya jangan saling mengganggu pada jam kerja apalagi melakukan hal-hal yang menyangkut kepentingan pribadi dan golongan dengan merugikan pihak lain pada jam kerja. Ada juga masukan bahwa anda punya hak dan kewajiban untuk membela diri dan berkelahi atau berdebat tapi mesti pada tempatnya secara profesional. Siapapun yang memimpin Sekolah Tinggi Theologia Baptis yang dirintis dan dibuka dengan susah payah dan air mata jangan dirusak nama baiknya dan yang harus dilakukan adalah difungsikan sesuai fungsinya. Jagalah dan peliharalah dan jadikanlah lembaga pendidikan ini untuk melalukan misi Tuhan Yesus, untuk melayani dan menggembalakan domba-domba Allah. Itulah kira-kira beberapa tanggapan dan masukan dari orang Baptis yang ada di Papua maupun di dunia lainnya. Begitu juga dengan kisah para oknum bupati, oknum hamba-hamba Tuhan dan oknum anggota TNI dan POLRI yang suka terlibat dalam membeking atau menjadi aktor intelektual dalam keterlibatan terencana ataupun tidak terencana dalam mengganggu eksistensi Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, diharapkan mampu menempatkan diri secara profesional agar tidak terjadi hal-hal yang mencerai-beraikan umat Tuhan di Papua.

Pelayanan adalah milik Tuhan dan Tuhan pun tidak tinggal diam dengan kesedihan hatiNYA terus melakukan transformasi. Kesedihan hati Yesus semakin bertambah akibat ulah kelompok yang tertipu dengan tipu daya Iblis menyebabkan jemaatNya tercerai-berai. Melalui Roh Kudus dari hati ke hati sebenarnya sudah menginsyafkan kita akan perbuatan yang menyakitkan hati Yesus Sang Kepala Gereja. Akibat tertipu oleh tipu daya Iblis, mengakibatkan rusaknya hubungan kekeluargaan, hubungan persekutuan, hilangnya wibawah hamba Tuhan di tengah umat, adanya teguran-teguran Firman Allah dengan kebenaranNya yang kita rasakan, timbul perasaan iri dan dengki dan bisa saja kehilangan harta benda dan nyawa.

Sebagai umat Tuhan kepunyaan Allah, marilah kita satukan tekad merasakan kebebasan, dan hidup damai yang dijanjikan Tuhan bagi setiap kita yang menuruti Firman Allah yang hidup dalam ALKITAB. Seluruh anggota jemaat Baptis di seluruh tanah Papua, sebagaimana prinsip Otonomi gereja yang dianut oleh gereja Baptis buatlah rencana pelayanan jangka panjang dan jangka pendek, buatlah program jemaat menindaklanjuti program Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua yang terdapat dalam Kongres menyangkut Penginjilan, Kesehatan, Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, dan perlindungan hukum dan HAM. Dan lakukanlah pelayanan itu bukan supaya disenangi pimpinan Sinode/BPP-PGBP dan bukan untuk disenangi manusia semata, atau juga menjadikan objek mendapatkan uang, namun dengan menggunakan swadaya jemaat buatlah sesuatu untuk kemuliaan nama Tuhan. Saya mau meminjam istilah yang pernah disampaikan oleh Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socaretez Sofyan Yoman pada Seminar Pelurusan Sejarah Gereja Baptis Papua di Makki, pada November 2006, mengatakan: “KAT NANO EKE TI MBO PUNUK, AN NANO EKE, AN NANO EKIRAK? TIMBAN YUWOK E!!!” artinya suatu pernyataan ajakan, yang artinya “janganlah menjadi orang yang suka mengatakan KAMU BERBUAT APA, tetapi marilah menjadi orang yang suka mengatakan SAYA SEDANG/SUDAH MELAKUKAN APA?. Dengan demikian saya berpendapat bahwa pernyataan seperti ini memang penting dan perlu kita masing-masing mengucapkannya dengan kata hati kita dengan kesungguhan hati agar dalam melakukan segala tugas dan tanggung jawab kita; tidak saling menyalahkan. Jangan-jangan karena kita suka saling menyalakan yang diserta tidak melaksanakan amanat Agung Tuhan Yesus Kristus dan pada akhirnya terjadi ratapan tangis seperti yang terdapat dalam Wahyu 5:4 yang berbunyi: Maka menangislah aku dengan amat sedihnya, karena tidak ada seorang pun yang dianggap layak untuk membuka gulungan kitab itu ataupun melihat sebelah dalamnya.

Mengakhiri tulisan ini, marilah kita ingat baik-baik apa kata ALKITAB dalam Firman Tuhan I Petrus 5:8 yang mengingatkan kita untuk tetap waspada yang berbunyi: Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya *** Yogyakarta, 17 Agustus 2008***

* = Wakil Sekretaris 1 BPP-PGBP dan Pengajar di Program Study PPKn FKIP-UNCEN.

Rabu, Agustus 13, 2008

KEBENARAN BOLEH DISALAHKAN TAPI TIDAK DAPAT DIKALAHKAN

TERLEPAS DARI PANDANGAN DAN PENDAPAT PARA INTELEKTUAL BAPTIS LAINNYA, SAYA MEMPUNYAI DATA DAN PENDAPAT SENDIRI MEMPERTANYAKAN KEPADA KEBENARAN BAHWA, "HAI KEBENARAN JAWABLAH PERMASALAHAN ANAK-ANAKMU YANG SATU IMAN, SATU BAPTISAN DAN SATU ROH INI"

SAAT INI SAYA MEMPUNYAI CATATAN BERDASARKAN DATA DAN INFORMASI BAHWA KEPENGURUSAN BPP-PGBP DI BAWAH PIMPINAN SOCRATEZ SOFYAN YOMAN MENDAPAT ANCAMAN, TANTANGAN DAN HAMBATAN DARI PIHAK INTERNAL (TEMAN-TEMAN SEPELAYANAN) DAN EKSTERNAL.

PIHAK INTERNAL SEBUT SAJA, PERINUS KOGOYA (KETUA SINODE TANDINGAN, BEFA YIGIBALOM KETUA YAYASAN TANDINGAN, DAN NEWTON MOKAY KETUA STT TANDINGAN DAN KRONI-KRONINYA MELAKUKAN BERBAGAI AKSI BERDASARKAN PANDANGAN YANG BERBEDA YANG TIDAK PERNAH MAU DIBICARAKAN DI KUNUME SECARA MUSYAWARAH. DISINI SAYA TIDAK BERMAKSUD MENJELEKKAN MEREKA TETAPI BERUSAHA MENGEMUKAKAN ALASAN-ALASAN YANG TIDAK DIKOMUNIKASIKAN DENGAN BAIK BERUPA PANDANGAN YANG MENANTANG, PIHAK SOCRATEZ SOFYAN YOMAN, DAPAT SAYA RUMUSKAN SEBAGAI BERIKUT :

  1. Membawa politik di Gereja/ tidak boleh berpolitik di gereja (Yoman). APA JAWABANNYA KALAU SAYA BERTANYA BENARKAH DEMIKIAN????

  2. Membawa gereja Baptis kepada Laniisme (Andreas Yanengga). APA JAWABANNYA KALAU SAYA BERTANYA BENARKAH AKAR PERSOALANNYA ADALAH LANIISME????

  3. Mempertahankan Kekuasaan dengan cara menunda kongres yang seharusnya tahun 2006 ditunda pelaksanaannya tahun 2007. APA JAWABANNYA KALAU SAYA BERTANYA BENARKAH DEMIKIAN????

  4. Uang Bantuan Luar Negeri tidak jelas penggunaannya oleh Sofyan Yoman? (SAYA BERTANYA BENARKAH DEMIKIAN?

  5. Kepemimpinan Yoman tidak dapat melakukan pelayanan gereja dengan baik, sehingga harus diganti supaya pelayanan bisa berjalan baik seperti pelayanan dahulu di era tahun 1960an sampai 70an. ?

  6. Persoalan tempat di Jayapura sesuai usulan di Kongres sebelumnya tidak bisa di rubah karena alasan tidak sesuai AD/ART PGBP. APA JAWABANNYA KALAU SAYA BERTANYA KEPADA ATURAN BENARKAH DEMIKIAN????

  7. Bukan orang Makki yang menjadi orang pertama dalam sejarah Injil tetapi kita semua. (Ada image negatif terhadap orang Makki). BENARKAH SEMUA ORANG MAKKI BERPIKIR DEMIKIAN DAN BERAMBISI MENDUDUKI JABATAN PGBP?

  8. Melakukan rapat-rapat sepihak dan membentuk panitia Kongres tandingan. (ATURAN RESMI YANG MANA YANG MEMBENARKAN ADANYA KONGRES TANDINGAN??

  9. Melakukan acara Pencabutan Mandat Ketua PGBP (Yoman) tanpa menghadirkan Pengurus PGBP yang mau di demisioner. (SAYA BERTANYA SECARA HUKUM MENDAPAT LEGITIMASI OLEH SIAPA? SESUAI AD/ART PGBP APAKAH DAPAT DIBENARKAN?

  10. Melakukan Kongres tandingan dengan menolak melaksanakan kongres Istimewa bersama di Wamena. (MENGAPA TIDAK MAU BERSATU MENGIKUTI BPP-PGBP DIBAWA PIMPINAN YOMAN YANG RESMI JUSTRU, MEMBUAT PANITIA BARU, MELAKUKAN DEMISONER DAN MELAKUKAN KONGRES, SERTA TERUS MENYINGKIRKAN DOSEN STT BAPTIS YANG HINGGA KINI TERJADI KONFLIK TGL 5 AGUSTUS DI STT BAPTIS?

  11. Hasil Kongres Wamena yang memilih Yoman kembali sebagai Ketua Umum PGBP dan Steve Yan Wenda sebagai Ketua STT Baptis serta Willem Kogoya sebagai Ketua Yayasan tidak sah karena yang menjadi peserta kongres adalah orang-orang Aibon dan orang-orang tua yang bodoh dan terbelakang yang tidak tahu apa-apa dan tidak representatif. (SAYA BERPENDAPAT BAHWA, HASIL KONGRES YANG TIDAK SESUAI PROSEDUR AD/ART PGBP ADALAH ILEGAL).


TEMAN-TEMAN INTELEKTUAL BAPTIS JIKA ANDA MEMPUNYAI IDE, USUL, SARAN, KRITIK MOHON KIRIM KE ALAMAT E-MAIL : willy_kogoya@yahoo.com atau willy.kogoya@gmail.com.


Semoga Tuhan Memberkati kita Sekalian dalam Semua rencana dan Pelayanan demi kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus.


ADA APA BUKU DILARANG? LEBIH BAIK BERTANYA PADA KEBENARAN

PRO-KONTRA BUKU “PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA, MEMECAH KEBISUAN SEJARAH KEKERASAN DI PAPUA BARAT” DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL

Oleh : Willius Kogoya *



Kata lain dari Konflik adalah pro-kontra atau setuju tidak setuju terhadap suatu objek tertentu, karena adanya faktor kepentingan dan latar belakang individu yang berbeda satu sama lain dengan cara menyampaikan pendapat atau cara mengekspresikan sesuatu yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Inti dari setiap beda pendapat, pro-kontra atau konflik yang terjadi dalam lingkungan keluarga sampai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perbedaan kepentingan. Sebagai contoh dalam konteks orang Papua, yang satu mau mencari keuntungan sebesar mungkin tanpa memperhitungkan hak orang lain; yang lain mau supaya gaji yang wajar dapat diberikan agar dapat hidup dengan layak; yang satu mau merdeka, yang lain mau pemekaran, yang lain lagi mau otonomi khusus. Seorang bapak sebagai kepala keluarga mau memakai uangnya untuk membeli bensin, sedangkan ibu mau memakainya untuk pendidikan anaknya. Seorang pemuda memilih jodohnya, sedangkan orang tua mengharapkan seorang teman hidup lain bagi anaknya; dsb. Sudah tentu setiap perjuangan dilatar belakangi dengan alasan tersendiri atau kepentingan tertentu. Hanya kepentingan bagi yang satu tidak selalu serasi dengan kepentingan orang lain, maka timbul ketegangan, timbul suasana konflik. Perbedaan kepentingan ini bisa menjadi suatu gangguan luar biasa kalau tidak ada suatu dasar kebersamaan yang membantu untuk mengatasi perbedaan itu. Seandainya bapak keluarga itu terbuka untuk merundingkan kepentingan keluarganya bersama isterinya karena keduanya mau bahwa keluarga itu berkembang dan maju, maka secara bersama-sama mereka menemukan suatu jalan keluar, sambil menentukan prioritas pemakaian uang yang ada. Menjadi lain kalau seorang bapak berpendapat bahwa dia yang menentukan segalanya, karena dia laki-laki, dia adalah kepala keluarga, dan perempuan mesti mengikuti apa saja yang diinginkannya. Sama halnya dalam soal jodoh. Contoh lain, kalau seorang pejabat mempunyai visi yang sama dengan masyarakat mengenai pola pelayanan yang dibutuhkan, pastilah suatu kebijakan yang tepat akan ditemukan. Namun menjadi lain kalau ‘nilai yang dianut sudah sangat berlainan’, maka tidak ada lagi dasar kebersamaan untuk memecahkan persoalan atau konflik. Kalau seorang pejabat hanya ingin menggunakan kedudukannya demi keutungannya sendiri dan menilai itu haknya, sudah tentu masyarakat akan menjadi korban. Kalau memang tidak berpegang pada nilai yang sama (atau nilai hanya diakui dengan mulut saja) kemungkinan besar konflik akan ‘dimenangkan’ oleh mereka yang paling kuat atau yang paling berkuasa tanpa menghiraukan akibatnya bagi orang lain.

Buku hasil tulisan, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua; Socratez Sofyan Yoman berjudul : “Pemusnahan Etnis Melanesia; Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat”, Penerbit Galang Press, Yogyakarta Cetakan : I, Desember 2007 Tebal Buku : 473 Halaman. "Papua Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan." – Mr. Juan Mendez (Penasehat Khusus Sekjen PBB Bidang Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi).

Socratez Sofyan Yoman sebagai sosok pemimpin gereja sebagai gembala yang wajib menjaga domba-domba yang diartikan sebagai seluruh umat manusia yang hidup di atas tanah Papua yang berasal dari ras Melanesia. Juga sebagai sosok yang berkecimpung dalam bidang HAM, memaparkan apa adanya tentang fenomena kekerasan yang menimpa Rumpun Melanesia di Papua Barat. Selanjutnya digolongkan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, sebab terdapat kekerasan, intimidasi, eksploitasi, pemerkosaan, hingga pembunuhan penduduk asli Papua Barat. Pelanggaran itu tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan budaya, ekonomi, politik, hingga agama. Ada anggapan bahwa aneka kekerasan yang terjadi sejak orang Melanesia berada dalam NKRI bukan tanpa sengaja, melainkan justru merupakan rekayasa politik pemerintah Indonesia untuk menguasai tanah dari Sorong sampai Merauke tersebut tanpa mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan. Terlepas dari menjaga nama baik NKRI, fakta membuktikan bahwa besarnya hasrat Indonesia untuk menguasai tanah Papua Barat telah memarjinalisasi dan menindas Rumpun Melanesia. Saat ini, Eksistensi etnis Melanesia di Papua Barat terancam musnah (punah). Mereka telah menjadi orang nomor dua di negerinya sendiri (Indonesia). Dijelaskan dalam buku ini, bahwa sejak terintegrasinya Papua Barat ke dalam NKRI, penduduk asli Papua Barat menjadi objek praktek politik genosida (pemusnahan etnis secara sistematis dan terorganisir) NKRI. Berbagai bukti kekerasan yang dilakukan Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat yang tersaji dalam buku ini, merupakan justifikasi dari praktek pemusnahan Rumpun Melanesia oleh bangsa Indonesia. Juga memotret fenomena-fenomena kekerasan yang menimpa penduduk asli Papua Barat sejak terintegrasinya Papua (1 Mei 1963 - sekarang) ke dalam NKRI.

Memang, dalam sejarahnya, keberadaan (eksistensi) orang-orang kulit hitam selalu dinomorduakan. Stigma-stigma seperti bodoh, miskin, tertinggal, dan primitif yang dilabelkan pada mereka mengindikasikan bahwa eksistensi mereka berada di bawah orang-orang kulit putih. Implikasinya, ras kulit hitam selalu menjadi korban kekerasan, Perlakuan tidak adil, intimidasi, pembunuhan, pemerkosaan, perbudakan, dan lain lain. Politik apartheid di Afrika dan kekerasan terhadap Rumpun Melanesia di Papua Barat adalah dua contoh penindasan yang dilakukan oleh ras kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam.


Menurut Socratez :

  1. Dalam proses pemusnahan penduduk asli Papua, Indonesia menempuh dua jalur operasi besar, yakni operasi militer dan operasi transmigrasi. Operasi militer bertujuan untuk menteror, mengintimidasi, menindas, hingga membunuh orang asli Papua yang dianggap mengancam keutuhan NKRI. Sedangkan operasi transmigrasi adalah untuk merebut segala yang dimiliki penduduk asli Papua Barat.

  2. Berangkat dari sekian usaha yang dilakukan Indonesia dalam rangka pemusnahan penduduk asli Papua dan menguasai tanah Papua tersebut, maka kehadiran buku ini menjadi sangat penting guna mencegah keberlangsungan politik genosida dan politik devide et impera di tanah Papua Barat. Dengan begitu, eksistensi Rumpun Melanesia dapat diselamatkan dari bahaya pemusnahan etnis.

  3. Besar harapan agar pemerintah tidak lagi memandang Papua Barat dengan paradigma kolonialisme. Sebab, paradigma itu hanya akan memecah kesatuan NKRI dan tentunya merugikan rakyat Papua. Jika politik devide et empera dan politik genosida masih dipakai Indonesia untuk menguasai wilayah Papua Barat, maka penduduk asli Papua Barat (Rumpun Melanesia) terancam musnah dari muka bumi. Oleh karena itu, kehadiran buku ini diharapkan mampu menyadarkan Indonesia bahwa Papua Barat adalah bagian NKRI dan penduduknya adalah penduduk Indonesia.

  4. Buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” merupakan suara keadilan pimpinan gereja,”
    “Buku itu memuat 8 bagian. Antara lain: referensi menyangkut landasan hak asasi manusia, sejarah, pembangunan dalam perspektif Indonesia dan orang Papua, bagian yang berhubungan dengan Otonomi Khusus, bagian yang menulis tentang pemekaran, tentang pelanggaran HAM dan proses pemusnahan etnis serta bagian rekomendasi,”


Pernyataan Kontra yang datang dari Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya, Dedy Irwan Virantama SH MH, di Surabaya Post, pada 07 Januari 2008 atau 8 (delapan) bulan yang lalu yaitu, Sementara dalam buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” karangan Socratez Sofyan Yoman ditemukan semacam saran penulis, antara lain: “Indonesia dijadikan Negara Federasi” yang ditemukan pada halaman 454, atau “Indonesia dijadikan lima atau enam negara” (halaman 455). Selain itu juga terdapat di halaman 456, “Indonesia sendiri harus introspeksi dirimu, karena Indonesia masih menduduki dan menjajah bangsa Melanesia, orang asli Papua Barat selama 44 tahun sejak 1 Mei 1963 – 2007 dan sedang melakukan proses pemusnahan etnis Melanesia hanya dengan kepentingan politik, keamanan, ekonomi dan Islamisasi di daerah kawasan Pasifik.”

Justifikasi jeratan hukum terhadap buku karya Socratez Sofyan Yoman sebagaimana dikatakan oleh Javaris/Ant/Papua Pos (Versi elektronik) Sabtu, 09 Agustus 2008, mengutip pernyataan, Direktur PT Galangpress, Julius Felicianus mengatakan pihaknya menghormati Keputusan Kejagung yang melarang peredaran kedua judul buku tersebut. "Kami harus mematuhi keputusan Kejagung karena memang sesuai pasal 1 ayat 3, Undang-undang nomor 4/PNPS/1963 tanggal 23 April 1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang Cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum,". Pada koran Harian Jogya, Sabtu Wage 9 Agustus 2008 Julius Felicianus menyatakan bahwa buku-buku yang diserahkan ke Kejati DIY ini merupakan buku tarikan dari seluruh toko buku di Indonesia yang dulu dicetak sebanyak 3000 eksemplar. Direktur PT. Galangpress menyayangkan tindakan pelarangan buku tersebut secara sepihak dari Kejaksaan. Seharusnya dilakukan diskusi dahulu dengan penerbit atau ahli khusus tentang benar tidaknya isi buku tersebut. Dari diskusi tersebut Kejaksaan jangan melakukan penyitaan namun seharusnya mengeluarkan buku yang membantah, apalagi buku tersebut ditulis oleh orang yang berasal dari Papua, sehingga selain mematikan proses demokrasi pelarangan tersebut akan membuat penulis pemula mengalami kemunduran atau drop, sehingga niatan untuk menulis sesuatu tentang wilayahnya akan sulit timbul. Hal yang sama dalam Radar Yogya, sabtu wage 9 Agustus 2008 menurut Kasie Sospol, Asisten Intel Kejati DIJ Asep Saiful Bachri, ratusan buku setebal 477 itu disita Kamis (7/8) pukul 10.00. Aparat langsung menyita buku yang tersimpan di gudang penerbit sekaligus percetakan Galang Press di daerah Baciro Baru, Jogya. Asep menyebut, buku itu telah melanggar ketentuan UU No 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum. “penerbit tidak salah, hanya yang dipermasalahkan isinya. Inti kesimpulan isi buku itu dikatakan, Papua Barat telah merdeka oleh sekutu sebelum proklamasi” dijelaskan dalam Radar Yogya tersebut.

Walaupun buku tersebut dijerat hukum sebagaimana yang diberitakan dalam Kompas, Yogya tanggal, 8 Agustus 2008 (versi elektronik). Kepala Seksi Sosial Politik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY, Asep Syaiful Bachri, yang dihubungi Jumat (8/8) sore, mengatakan pihaknya hanya menindaklanjuti surat penyitaan dari Kepala Kejati. Sebelumnya, ada surat Jaksa Agung RI Nomor Kep-052/A/JA/06/08 bertanggal 20 Juni 2008 tentang larangan peredaran buku tersebut, namun pada sisi lain menarik sekali membaca buku setebal 473 halaman ini. Selain tersaji bukti-bukti tentang kekerasan yang menimpa rakyat Papua Barat oleh bangsanya sendiri (Indonesia), buku ini juga menawarkan sebuah solusi yang oleh penulis diyakini mampu memecah sekat antara Indonesia dan Papua Barat. Semoga kehadiran buku ini dapat mengetuk dan membuka pintu hati kita (Indonesia), sehingga kita sadar bahwa Rumpun Melanesia, ras kulit hitam bersama ras melayu di Papua Barat adalah manusia yang perlu dilindungi dalam rangka ketahanan nasional NKRI. Mantapnya ketahanan nasional RI apabila mengkaji setiap permasalahan sosial politik di Papua dengan pendekatan sistem dan mengkaji permasalahan dari berbagai sisi positif dan negatif secara komprehensif. Alangkah baiknya pihak kejaksaan bersama tim ahli segera meneliti dan menilai isi buku serta memperdebatkan isi buku dengan cara menulis buku juga sebagaimana etika tulis menulis buku seperti dikemukan pihak Galangpress. Jika yang dipermasalahkan hanya bagian-bagian tertentu seputar permainan kata supaya di revisi lagi tanpa membunuh semangat menulis orang-orang Papua dan demi menjaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Sebagai seorang gerejawan dari Papua, tidak heran jika ayat-ayat Alkitab dapat saja menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi Socratez apalagi didukung oleh latar belakang budaya yang suka menegur didepan umum dengan maksud baik tidak seperti budaya Jawa, atau Batak yang berbeda dengan orang Papua, sebagai contoh Amsal 6:23 Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan. Amsal 27:5 Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Langkah yang diambil oleh pihak Kejaksaan adalah karena adanya ketakutan akan kemungkinan terjadinya konflik SARA, namun sebetulnya pada sisi lain tidak perlu mengkawatirkan secara berlebihan tentang para pembaca, karena masyarakat sekarang khusunya mereka yang suka membaca sudah pintar dan dapat membedakan mana yang baik dan buruk, dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompok antara pribadi dan kelompok dengan kepentingan nasional. Adanya buku ini selain memberi pengetahuan tentang baik dan buruk, bukanlah satu-satunya pemicu konflik SARA di Papua, pemicunya malah bisa saja kebijakan pemerintah sendiri, atau penafsiran berbagai undang-undang yang berbeda satu-sama lain, dan sebagainya. Dengan demikian aturan yang melarang atau mendukung perlu dijelaskan secara baik melalui media yang ada. Langkah yang diambil oleh kejaksaan sebelum melakukan diskusi atau debat buku seperti ini sebenarnya sudah meresahkan masyarakat, sekalipun menurut hukum mesti diambil langkah demikian.

***

* = Mahasiswa Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada dan Pengajar di FKIP-UNCEN


Selasa, Agustus 12, 2008

INFORMASI PELAYANAN BPP PGBP

HANYA SEKALI KITA HIDUP, ITUPUN
AKAN BERLALU TETAPI APA YANG KITA
BUAT UNTUK TUHAN KEKAL TAK AKAN LAYU.




Senin, Agustus 11, 2008

Pro Kontra Buku Socratez Sofyan Yoman

PRO-KONTRA BUKU “PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA, MEMECAH KEBISUAN SEJARAH KEKERASAN DI PAPUA BARAT” DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL
Oleh : Willius Kogoya *



Kata lain dari Konflik adalah pro-kontra atau setuju tidak setuju terhadap suatu objek tertentu, karena adanya faktor kepentingan dan latar belakang individu yang berbeda satu sama lain dengan cara menyampaikan pendapat atau cara mengekspresikan sesuatu yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Inti dari setiap beda pendapat, pro-kontra atau konflik yang terjadi dalam lingkungan keluarga sampai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perbedaan kepentingan. Sebagai contoh dalam konteks orang Papua, yang satu mau mencari keuntungan sebesar mungkin tanpa memperhitungkan hak orang lain; yang lain mau supaya gaji yang wajar dapat diberikan agar dapat hidup dengan layak; yang satu mau merdeka, yang lain mau pemekaran, yang lain lagi mau otonomi khusus. Seorang bapak sebagai kepala keluarga mau memakai uangnya untuk membeli bensin, sedangkan ibu mau memakainya untuk pendidikan anaknya. Seorang pemuda memilih jodohnya, sedangkan orang tua mengharapkan seorang teman hidup lain bagi anaknya; dsb. Sudah tentu setiap perjuangan dilatar belakangi dengan alasan tersendiri atau kepentingan tertentu. Hanya kepentingan bagi yang satu tidak selalu serasi dengan kepentingan orang lain, maka timbul ketegangan, timbul suasana konflik. Perbedaan kepentingan ini bisa menjadi suatu gangguan luar biasa kalau tidak ada suatu dasar kebersamaan yang membantu untuk mengatasi perbedaan itu. Seandainya bapak keluarga itu terbuka untuk merundingkan kepentingan keluarganya bersama isterinya karena keduanya mau bahwa keluarga itu berkembang dan maju, maka secara bersama-sama mereka menemukan suatu jalan keluar, sambil menentukan prioritas pemakaian uang yang ada. Menjadi lain kalau seorang bapak berpendapat bahwa dia yang menentukan segalanya, karena dia laki-laki, dia adalah kepala keluarga, dan perempuan mesti mengikuti apa saja yang diinginkannya. Sama halnya dalam soal jodoh. Contoh lain, kalau seorang pejabat mempunyai visi yang sama dengan masyarakat mengenai pola pelayanan yang dibutuhkan, pastilah suatu kebijakan yang tepat akan ditemukan. Namun menjadi lain kalau ‘nilai yang dianut sudah sangat berlainan’, maka tidak ada lagi dasar kebersamaan untuk memecahkan persoalan atau konflik. Kalau seorang pejabat hanya ingin menggunakan kedudukannya demi keutungannya sendiri dan menilai itu haknya, sudah tentu masyarakat akan menjadi korban. Kalau memang tidak berpegang pada nilai yang sama (atau nilai hanya diakui dengan mulut saja) kemungkinan besar konflik akan ‘dimenangkan’ oleh mereka yang paling kuat atau yang paling berkuasa tanpa menghiraukan akibatnya bagi orang lain.
Buku hasil tulisan, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua; Socratez Sofyan Yoman berjudul : “Pemusnahan Etnis Melanesia; Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat”, Penerbit Galang Press, Yogyakarta Cetakan : I, Desember 2007 Tebal Buku : 473 Halaman. "Papua Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan." – Mr. Juan Mendez (Penasehat Khusus Sekjen PBB Bidang Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi).
Socratez Sofyan Yoman sebagai sosok pemimpin gereja sebagai gembala yang wajib menjaga domba-domba yang diartikan sebagai seluruh umat manusia yang hidup di atas tanah Papua yang berasal dari ras Melanesia. Juga sebagai sosok yang berkecimpung dalam bidang HAM, memaparkan apa adanya tentang fenomena kekerasan yang menimpa Rumpun Melanesia di Papua Barat. Selanjutnya digolongkan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, sebab terdapat kekerasan, intimidasi, eksploitasi, pemerkosaan, hingga pembunuhan penduduk asli Papua Barat. Pelanggaran itu tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan budaya, ekonomi, politik, hingga agama. Ada anggapan bahwa aneka kekerasan yang terjadi sejak orang Melanesia berada dalam NKRI bukan tanpa sengaja, melainkan justru merupakan rekayasa politik pemerintah Indonesia untuk menguasai tanah dari Sorong sampai Merauke tersebut tanpa mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan. Terlepas dari menjaga nama baik NKRI, fakta membuktikan bahwa besarnya hasrat Indonesia untuk menguasai tanah Papua Barat telah memarjinalisasi dan menindas Rumpun Melanesia. Saat ini, Eksistensi etnis Melanesia di Papua Barat terancam musnah (punah). Mereka telah menjadi orang nomor dua di negerinya sendiri (Indonesia). Dijelaskan dalam buku ini, bahwa sejak terintegrasinya Papua Barat ke dalam NKRI, penduduk asli Papua Barat menjadi objek praktek politik genosida (pemusnahan etnis secara sistematis dan terorganisir) NKRI. Berbagai bukti kekerasan yang dilakukan Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat yang tersaji dalam buku ini, merupakan justifikasi dari praktek pemusnahan Rumpun Melanesia oleh bangsa Indonesia. Juga memotret fenomena-fenomena kekerasan yang menimpa penduduk asli Papua Barat sejak terintegrasinya Papua (1 Mei 1963 - sekarang) ke dalam NKRI.
Memang, dalam sejarahnya, keberadaan (eksistensi) orang-orang kulit hitam selalu dinomorduakan. Stigma-stigma seperti bodoh, miskin, tertinggal, dan primitif yang dilabelkan pada mereka mengindikasikan bahwa eksistensi mereka berada di bawah orang-orang kulit putih. Implikasinya, ras kulit hitam selalu menjadi korban kekerasan, Perlakuan tidak adil, intimidasi, pembunuhan, pemerkosaan, perbudakan, dan lain lain. Politik apartheid di Afrika dan kekerasan terhadap Rumpun Melanesia di Papua Barat adalah dua contoh penindasan yang dilakukan oleh ras kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam.

Menurut Socratez :
1. Dalam proses pemusnahan penduduk asli Papua, Indonesia menempuh dua jalur operasi besar, yakni operasi militer dan operasi transmigrasi. Operasi militer bertujuan untuk menteror, mengintimidasi, menindas, hingga membunuh orang asli Papua yang dianggap mengancam keutuhan NKRI. Sedangkan operasi transmigrasi adalah untuk merebut segala yang dimiliki penduduk asli Papua Barat.
2. Berangkat dari sekian usaha yang dilakukan Indonesia dalam rangka pemusnahan penduduk asli Papua dan menguasai tanah Papua tersebut, maka kehadiran buku ini menjadi sangat penting guna mencegah keberlangsungan politik genosida dan politik devide et impera di tanah Papua Barat. Dengan begitu, eksistensi Rumpun Melanesia dapat diselamatkan dari bahaya pemusnahan etnis.
3. Besar harapan agar pemerintah tidak lagi memandang Papua Barat dengan paradigma kolonialisme. Sebab, paradigma itu hanya akan memecah kesatuan NKRI dan tentunya merugikan rakyat Papua. Jika politik devide et empera dan politik genosida masih dipakai Indonesia untuk menguasai wilayah Papua Barat, maka penduduk asli Papua Barat (Rumpun Melanesia) terancam musnah dari muka bumi. Oleh karena itu, kehadiran buku ini diharapkan mampu menyadarkan Indonesia bahwa Papua Barat adalah bagian NKRI dan penduduknya adalah penduduk Indonesia.
4. Buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” merupakan suara keadilan pimpinan gereja,”
“Buku itu memuat 8 bagian. Antara lain: referensi menyangkut landasan hak asasi manusia, sejarah, pembangunan dalam perspektif Indonesia dan orang Papua, bagian yang berhubungan dengan Otonomi Khusus, bagian yang menulis tentang pemekaran, tentang pelanggaran HAM dan proses pemusnahan etnis serta bagian rekomendasi,”

Pernyataan Kontra yang datang dari Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya, Dedy Irwan Virantama SH MH,di Surabaya Post, pada 07 Januari 2008 atau 8 (delapan) bulan yang lalu yaitu, dalam buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” karangan Socratez Sofyan Yoman ditemukan semacam saran penulis, antara lain: “Indonesia dijadikan Negara Federasi” yang ditemukan pada halaman 454, atau “Indonesia dijadikan lima atau enam negara” (halaman 455). Selain itu juga terdapat di halaman 456, “Indonesia sendiri harus introspeksi dirimu, karena Indonesia masih menduduki dan menjajah bangsa Melanesia, orang asli Papua Barat selama 44 tahun sejak 1 Mei 1963 – 2007 dan sedang melakukan proses pemusnahan etnis Melanesia hanya dengan kepentingan politik, keamanan, ekonomi dan Islamisasi di daerah kawasan Pasifik.”
Justifikasi jeratan hukum terhadap buku karya Socratez Sofyan Yoman sebagaimana dikatakan oleh Javaris/Ant/Papua Pos (Versi elektronik) Sabtu, 09 Agustus 2008, mengutip pernyataan, Direktur PT Galangpress, Julius Felicianus mengatakan pihaknya menghormati Keputusan Kejagung yang melarang peredaran kedua judul buku tersebut. "Kami harus mematuhi keputusan Kejagung karena memang sesuai pasal 1 ayat 3, Undang-undang nomor 4/PNPS/1963 tanggal 23 April 1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang Cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum,". Pada koran Harian Jogya, Sabtu Wage 9 Agustus 2008 Felicianus bahwa buku-buku yang diserahkan ke Kejati DIY ini merupakan buku tarikan dari seluruh toko buku di Indonesia yang dulu dicetak sebanyak 3000 eksemplar. Direktur PT. Galangpress menyayangkan tindakan pelarangan buku tersebut secara sepihak dari Kejaksaan. Seharusnya dilakukan diskusi dahulu dengan penerbit atau ahli khusus tentang benar tidaknya isi buku tersebut. Dari diskusi tersebut Kejaksaan jangan melakukan penyitaan namun seharusnya mengeluarkan buku yang membantah, apalagi buku tersebut ditulis oleh orang yang berasal dari Papua, sehingga selain mematikan proses demokrasi pelarangan tersebut akan membuat penulis pemula mengalami kemunduran atau drop, sehingga niatan untuk menulis sesuatu tentang wilayahnya akan sulit timbul. Hal yang sama dalam Radar Yogya, sabtu wage 9 Agustus 2008 Kasie Sospol, Asisten Intel Kejati DIJ Asep Saiful Bachri, ratusan buku setebal 477 itu disita Kamis (7/8) pukul 10.00. Aparat langsung menyita buku yang tersimpan di gudang penerbit sekaligus percetakan Galang Press di daerah Baciro Baru, Jogya. Asep menyebut, buku itu telah melanggar ketentuan UU No 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum. “penerbit tidak salah, hanya yang dipermasalahkan isinya. Inti kesimpulan isi buku itu dikatakan, Papua Barat telah merdeka oleh sekutu sebelum proklamasi” dijelaskan dalam Radar Yogya ut.
Walaupun buku tersebut dijerat hukum sebagaimana yang diberitakan dalam Kompas, Yogya tanggal, 8 Agustus 2008 (versi elektronik).Kepala Seksi Sosial Politik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY, Asep Syaiful Bachri, yang dihubungi Jumat (8/8) sore, mengatakan pihaknya hanya menindaklanjuti surat penyitaan dari Kepala Kejati. Sebelumnya, ada surat Jaksa Agung RI Nomor Kep-052/A/JA/06/08 bertanggal 20 Juni 2008 tentang larangan peredaran buku tersebut, namun pada sisi lain menarik sekali membaca buku setebal 473 halaman ini. Selain tersaji bukti-bukti tentang kekerasan yang menimpa rakyat Papua Barat oleh bangsanya sendiri (Indonesia), buku ini juga menawarkan sebuah solusi yang oleh penulis diyakini mampu memecah sekat antara Indonesia dan Papua Barat. Semoga kehadiran buku ini dapat mengetuk dan membuka pintu hati kita (Indonesia), sehingga kita sadar bahwa Rumpun Melanesia, ras kulit hitam bersama ras melayu di Papua Barat adalah manusia yang perlu dilindungi dalam rangka ketahanan nasional NKRI. Mantapnya ketahanan nasional RI apabila mengkaji setiap permasalahan sosial politik di Papua dengan pendekatan sistem dan mengkaji permasalahan dari berbagai sisi positif dan negatif secara komprehensif. Alangkah baiknya pihak kejaksaan bersama tim ahli segera meneliti dan menilai isi buku serta memperdebatkan isi buku dengan cara menulis buku juga sebagaimana etika tulis menulis buku seperti dikemukan pihak Galangpress. Jika yang dipermasalahkan hanya bagian-bagian tertentu seputar permainan kata supaya di revisi lagi tanpa membunuh semangat menulis orang-orang Papua dan demi menjaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Sebagai seorang gerejawan dari Papua, tidak heran jika ayat-ayat Alkitab dapat saja menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi Socratez apalagi didukung oleh latar belakang budaya yang suka menegur didepan umum dengan maksud baik tidak seperti budaya Jawa, atau Batak yang berbeda dengan orang Papua, sebagai contoh 6:23 Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan. Amsal 27:5 Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Langkah yang diambil oleh pihak Kejaksaan adalah karena adanya ketakutan akan kemungkinan terjadinya konflik SARA, namun sebetulnya pada sisi lain tidak perlu mengkawatirkan secara berlebihan terhadap para pembaca, karena masyarakat sekarang khusunya mereka yang suka membaca sudah pintar dan dapat membedakan mana yang baik dan buruk, dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompok atau antara kepentingan pribadi dan kelompok dengan kepentingan nasional. Adanya buku ini selain memberi pengetahuan tentang baik dan buruk, bukanlah satu-satunya pemicu konflik SARA di Papua, pemicunya malah bisa saja kebijakan pemerintah sendiri, atau penafsiran berbagai undang-undang yang berbeda satu-sama lain, dan sebagainya. Dengan demikian aturan yang melarang atau mendukung perlu dijelaskan secara baik melalui media yang ada. Langkah yang diambil oleh kejaksaan sebelum melakukan diskusi atau debat buku seperti ini sebenarnya sudah meresahkan masyarakat, sekalipun menurut hukum mesti diambil langkah demikian.
***
* = Mahasiswa Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada dan Pengajar di Program Studi PPKn FKIP-UNCEN.